Masalah Gizi Bayi dan Anak di Indonesia













Berdasarkan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pemerintah wajib memenuhi hak-hak anak, yaitu tentang kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya serta perlindungan demi kepentingan terbaik anak. Seluruh komponen bangsa (pemerintah, legislatif, swasta dan masyarakat) bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Di bidang kesehatan, pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak melalui upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang optimal sejak dalam kandungan. Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan berkembang, yaitu kasih sayang dan perlindungan, makanan bergizi seimbang, imunisasi dasar dan suplementasi kapsul vitamin A, pendidikan dan pengasuhan dini, perawatan kesehatan dan pencegahan kecacatan, cedera dan lingkungan yang sehat dan aman, orangtua berkeluarga berencana (Depkes RI, 2005).

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, pemerintah telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 Bidang Kesehatan. Salah satunya adalah program Perbaikan Gizi Masyarakat dengan sasaran penurunan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20% (termasuk penurunan prevalensi gizi buruk menjadi 5%) pada tahun 2009 (Depkes RI, 2005).

Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Menurut data WHO, Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada 2004 karena 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita Indonesia (28,47%) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Data dari Departemen Kesehatan menyebutkan pada 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3% kabupaten dan 56% kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada 2003 sebanyak lima juta anak balita (27,5 persen) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 persen) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3 persen) sisanya mengalami gizi buruk (Depkes RI, 2005).

Anak kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang tidak selalu diikuti dengan gejala sakit. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Sementara kekurangan gizi belum dapat diselesaikan, prevalensi masalah gizi lebih dan obesitas mulai meningkat khususnya pada kelompok sosial ekonomi menengah keatas di perkotaan. Kelebihan gizi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular yang merupakan faktor penyebab kematian utama pada kelompok usia dewasa (Depkes RI, 2005).

Menteri kesehatan menyatakan, masalah-masalah gizi tersebut sangat merisaukan karena mengancam kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Berbagai penelitian membuktikan bahwa tingginya balita gizi buruk terkait dengan tingginya angka kesakitan dan kematian ibu, bayi, dan balita. WHO memperkirakan sekitar 60% penyebab langsung kematian bayi dan anak didasari oleh keadaan gizi yang jelek. Tingginya masalah gizi berkaitan dengan tingkat pendidikan masyarakat terutama kaum perempuan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan sosial ekonomi bangsa. Oleh sebab itu, pengetahuan ibu mutlak dibutuhkan untuk menentukan sikap dan tindakan yang baik terhadap pemberian gizi pada anak (Depkes RI, 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar